Thursday, June 13, 2013

ASAL-USUL NAMA DESA RAJEGWESI KEC PAGERBARANG KAB TEGAL


          Pada abad ke-16 kira-kira tahun 1625, saat itu adi pati Tegal masa pergantian dari Ki Gede Honggowono beralih ke P.A. Martoloyo yang kebetulan masa-masa pergantian dengan sistem pemilihan yaitu beberapa senopati/adipati yang sengaja di kirim sebagai kaladuta 1 (Benteng pertahanan untuk menghadapi walanda), oleh beliau Sultan Agungh di pusat Mataram.
            Setelah sedikit tentram di wilayah Tegal Sultan Agung, merupakan pemilihan Bupati diantaranya Adi Pati Rajegwesi dan P. A. Martoloyo ternyata setelah pemilihan berlangsung yang terpilih adalah pangeran Anom Martoloyo dan Adipati Rajegwesi yang berasal dari kadipaten pacitan mengubah namanya menjadi “Ki Ageng Petir”. Sebenarnya Ki Adipati Rajegwesi sendiri ditugaskan atau diangkat menjadi “Ki Mengku Demang”. Namun Ki Ageng Petir (Adipati Rajegwesi) tidak berkenan menerima jabatan mengkudemang setara dengan wedono (Pembantu Bupati).
            Ki Ageng Petir (Adipati Rajegwesi) memilih menjadi kraman atau berandal yang pada saat itu memang dengan bermodalkan ilmu kanuragan kasantosan (Aji Nyawa Rontek), yang mikir dengan “Aji Panca Sona,  dan bernama Ki Ageng Petir”, memang benar-benar memiliki kekuatan seperti petir karena konon sempat diberi ilmu oleh Ki Ageng Selo yang konon bisa menangkap dan mengumpulkan tenaga petir di zaman demak bintara. Singkat cerita, sebenarnya nama “Desa Rajegwesi”, ada hubungan erat dengan nama “Slawi Ayu”, dalam bahasa jawanya berarti Slawe (Duapuluh Lima), yang sekarang menjadi pusat pemrintahan di Kabupaten Tegal.
            Kembali ke asul-usul desa Rajegwesi pada zaman P. A. Martoloyo, Tegal merupakan kota yang tidak nyaman, Karena terganggu oleh sepak terjang  P. A. Martoloyo mengadakan “ Giri Patemboyon”, ( Sayembara) yang isinya : “barang siapa mampu menangkapnya dalam keadaan hidup/mati, akan mendapatkan imbalan atau hadiah. Diantaranya : Menjadi putra menantu Bupati P. A. Martoloyo yaitu akan menikah dengan putrinya yang bersama Dyah Ayu Nimas Ronggeh.
            Setelah P. A. Martoloyo mengadakan sayembara tersebut banyak nagari/daerah (kadipaten), datang mengikuti sayembara tersebut. Nagari randu  lawang (Brebes) dan lainya yang berjumlah duapuluh lima (asal-usul nama Slawi). Sejauh P. A. Martoloyo mengadakan sayembara tidak ada satupun  yang mampu menangkap Ki Ageng Petir (Adipati Rajegwesi). Terkecuali ksatria dari Palembang yaitu Putra Prabu Sriwijaya yang bernama R. A. Tlampar Ranggono. Melalui pertunjukan “Ledhek  atau Tayub”, (Pertunjukan Rakyat) yang diadakan untuk menjebak Ki Ageng Petir ( Adipati Rajegwesi), Para preman brandal, dan kraman. Namun setelah Ki Ageng Petir tertangkap, Kesaktiannya tidak ada satupun yang mampu untuk melindungi dan membunuhnya. Kemudian oleh temenggung juru nawon (Ajudan raja dari Mataram) mengusulkan untuk memotong-motong  tubuh Ki Ageng Petir menjadi beberapa bagian yang kemudian harus dipisahkan ke beberapa tempat yang mempunyai aliran sungai dan sebelum dimakamkan potongan tubuh itu harus di ajang-ajang selama 7 hari lamanya. Salah satu anggota tubuh Ki Ageng Petir ada yang di buang ke tengah hutan (candi bandotan atau candi banditan). Dahulu, kepala Ki Ageng Petir  sendiri dimakamkan ke wilayah Sendang Gayung yang kemudian di pagar menggunakan besi ( Rajegwesi).
            Setelah kematian Ki Ageng Petir sendiri (Yang dipercaya menjadi awal terbentuknya nama desa Rajegwesi). Maka raja Mataram Sultan Agung Hanyakrowati bersabda “ Heeeh!!!!!......... Saputra wayah ku iki wis balik menyang asale”, (Adipati Rajegwesi sudah pulang ke asalnya). Dengan berkembangnya waktu dan zaman masyarakat Sendang Guyang  sendiri itu menjadi sebuah dusun yang kemudian dikenal dengan nama Desa Rajegwesi (Asal Kepala Ki Ageng Petir yang terkubur dan dipagar menggunakan besi).
            Penetapan nama Rajegwesi sendiri kira-kira pada tahun 1672 pada masa P. A. Martloyo hampir berakhir. Kami ingi tahu tentang awal pemerintahan yang ada di Desa Rajegwesi, setelah terbentuknya suatu wilayah hukum dalam masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah.  Maka mulailah  ada suatu bentuk tatanan keluarga pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
            Namun mulai  tahun 1672 sampai dengan sekitar tahun 1887 kami tidak mengetahui secara pasti siapa yang menjadi kepala desa atau kepala pemerintahannya. Setelah kami telusuri ke beberapa sumber dan narasumber yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahwa kepala desa pada masa itu (1887) yaitu Bapak “ Suwargi Taham”.

Sejarah Pemerintahan di  Desa Rajegwesi

1.        Pemerintahan Kepala Desa Taham (1888-1896)
Bapak Taham adalah anak dari seorang petani yang bernama Ki Wangsa dan Ibu Warsiah. Beliau lahir kurang lebih pada abad 18, tahun 1841.  Pada saat kondisi desa Rajegwesi sangat memperhatikan, di saat masa sistem kerajaan. Semua peninggalan kerajaan Majapahit kuno. Kehidupannya sama dengan masyarakat lain pada umumnya, dan tidak pernah merasakan pendidikan formal seperti sekarang.
Pada usia 11 tahun, ayah beliau meninggal duania. Sepeninggalan ayahnya Taham bekerja sebagai Ngenger atau buruh pemeliharaan kerbau, milik Sindu orang balaradin. Dari pak Sindu inilah Tahap bisa mengambil pelajaran yang berharga yaitu ilmu tentang hidup dalam  bermasyarakat.
Pak Sindu sendiri adalah seorang yang terpandang dan tokoh masyarakat pada masa itu. Cukup lama Taham bekerja pada pak Sindu,ia pun mendapatkan imbalan dua anak kerbau.Setelah itu Taham kembali kekampungnya  Rajegwesi. Dengan bekal dua anak kerbau imbalan dari pak Sindu Dan Taham menikah pada usia 23 tahun. Kemudian mendapatkan kepercayaan dari seorang camat untuk menjadi kepala desa di Rajegwesi pada usia 46 tahun.
Dalam perjalanan menjadi kepala desa beliau sering mendapat tekanan-tekanan dari pihak Belanda. Pada masa pemerintahannya beliau hanya bisa menentukan batas-batas wilayah desa. Pak taham menjabat kepala desa dari tahun 1888-1896. Dalam perjalanan hidupnya Taham pernah berpesan kepada anak-cucunya “ Akurlah dengan saudara kamu biar rajegwesi semakin ramai dan nyaman”, Amin.

2.        Pemerintahan Kepala Desa Rasijam ( 1896-1907)
Sepeninggalan dari kepala desa Taham, desa Rajegwesi di pimpin oleh Bapak Rasijan, beliau adalah keponakan dari bapak Taham. Beliau lahir dan hidup dari keluarga yang serba kekurangan. Ayahnya Rasijan di percaya oleh belanda untuk memelihara kebun tembakau milik belanda. Saat Rasijan berusia kurang lebih 23 tahun ayahnya pergi untuk menjual tembakau ke kota. Namun ayahnya tidak pernah pulang dan tidak seorang yang tahu arah rimbanya. Sebagai anak tertua dikeluarganya, Rasijan menjadi tulang punggung keluarganya. Ia harus mengganjtikan posisi ayahnya dari memenuhi kebutuhan ibu, ketujuh saudaranya, dan harus memelihara tembakau seperti yang dikerjakan ayahnya terdahulu.
Karena kondisi keluarganya yang serba kekurangan, Rasijan tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Ia hanya berguru dari seorang Belanda tempat dimana Rasijan mengurus kebun tembakau, yaitu ; Tuan Franxi, Leawt  tuannya Rasijan banyak mengambil ilmu, “terutama ilmu perdagangan”.
Pada usia kurang lebih 24  tahun Rasijan memutuskan menikah. Pada suatu saat Rasijan kembali ke Desa Rajegwesi, ia di datangi oleh seorang “Upas Bladen”,  ( Camat pada saat itu). Camat tersebut meminta Rasijan untuk menggantikan posisi pamannya Taham yang telah meninggal.
Demi mengabdikan diri kepada kampungnya Rasijan pun menjadi kepala desa. Dalam perjalanan hidupnya menjadi kepala desa sering mendapat tekanan dari pihak penjajah. Rasijan meninggal dunia pada tahun 1907 dan meninggalkan empat orang anak, dua laki-laki, dan dua perempuan. Tidak banyak yang dilakukan oleh Rasijan dalam masa jabatannya, namun ia telah bisa menjadi panutan yang baik dan berperan penting dalam mengembangkan desa rajegwesi.

3.        Pemerintahan Kepala Desa Banda Lancong / Bancong (1907-1919)
Setelah kepala desa Rasijam meninggal dunia, dahulu Rajegwesi dipimpin oleh kepala desa yang bernama Bancong alias Surban. Mungkin titik temu antra bapak Bancong dari Surabaya dan ibunya yang berasal dari Bandung. Blancong dilahirkan pada abad ke-18 akhir, sekitar tahun 1860. Ayah Blancong seorang prantau sehingga tidak aneh jika ia sering di ajak oleh ayahnya untuk pulang pergi antara Tegal, Jakarta, dan Surabaya. Ayah Blancong adalah seorang pedagang kecil, Beliau menjual barang kelontong dan kebutuhan rumah tangga.
Blancong hidup bersama tiga saudaranya, dua laki-laki dan satu perempuan.  Blancong sendiri anak yang kedua sedangkan adiknya seorang perempuan. Dengan keadaan yang demikian Blancong hanya menempuh pendidikan “kelompok rakyat”,( PKR). Tidak banyak yang dilakukan Blancong dimasa hidupnya, namun beliau tidak patah menyerah. Pengalaman dagang dari Tuan Kjiser Black seorang berkebangsaan Belanda tidak disia-siakan, Setelah berusia 28 tahun. Menikah dengan perempuan dari pekalongan.
Setelah kira-kira berusia 46 tahun, Blancong dipilih untuk menjadi seorang kepala desa  di Rajegwesi. Selama masa jabatanya hanya mampu membuat sebuah denah-denah jalan yang ada di desa yang menghubungkan pada desa-desa tetangga. Diantaranya desa Dukuh Glagah ( Srengseng). Di masa kepemimpinannya juga membangun jembatan penyeberangan yang menghubungkan desa sebelah seletan sungai dengan desa sebelah utara sungai. Dan maklum saat itu juga saya membentuk jalan-jalan desa yang lainya diantara jalan melingkar 1 desa.
Di bidang pertanian Blancong haya mampu memberi contoh untuk menanam padi darat atau padi gagah genjah. Ia juga ingat betul di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Selain itu juga membangun saluran air dari desa Balapulang, Cibunara, Srengseng, dan sampai ke wilayah Rajegwesi. Namun pada pemerintahan ini juga tidak banyak mengalami suatu perubahan karena Belanda tetap memberi suatu penekanan-penekanan yang sangat ber arti bagi pemerintahan asli pribumi ( Wong Jawa).
Dalam benak beliau sebagai seorang pemimpin ada sebuah kenyakinan dan harapan yang besar, bahwa kelak bangsa jawa pasti akan tetap merdeka yang penting selalu berbuat yang terbaik bagi rakyat. Dan beliau berpesan kalau ingin menjadi orang rajegwesi, “yang selamanya bisa keras dan bisa lunak”. Percayalah pasti terbukti, Banda Lancong menjabat sebagai kepala desa rajegwesi hanya sampai tahun 1919 (sebelum merdeka).

4.        Pemerintahan Kepala Desa Surawijaya (1919-1933)
     Pada zaman itu, saya masih ragu akan mengurai kekusutan untuk mengakui keindahan sejarah khususnya desa kami yakni desa Rajegwesi. Suatu hari saya di panggil oleh ayah saya yang bernama Ki Gede Wangsa yang menurut cerita bekas wedana pada masanya.  Pada saat itu pusat pemerintahan kawedanan berpusat di desa Pagiyanten. Menurut ayah, saya dilahirkan sebagai masyarakat pada umumnya.yang hanya saya ingat adalah  saya disekolahkan oleh ayah saya selama 2 tahun di warunci. di masa kanak-kanak kami sering berekreasi, walau saat itu hanya memiliki kendaraan berupa kuda. Ayah saya tergolong orang yang mampu, karena ayah adalah seorang pendatang pensiunan yang saat itu memiliki 3 ekor kuda.
Namun pada saat itu yang Saya fikirkan adalah ingin membentuk suatu kelompok yang difungsikan untuk memikirkan masalah nasib pribumi. Setelah menginjak dewasa kira-kira usia 19 tahun saya sering mengikuti perkumpulan atau organisasi yang mengarah pada gerakan anti walanda (Belanda). Pada saat itu pemuda-pemudi yang mengenyam pendidikan benar-benar ingin berjuang membebaskan warga pribumi dari belenggu penjajah. Kira-kira pada usia 34 tahun saya baru pulang dari perantauan (Batavia). Dan langsung saya menikah dengan seorang perempuan, hingga akhirnya dikaruniai 9 anak, 3 orang putra dan 6 lainnya putri. Pada saat usia 50 tahun saya diamanahi menjadi Kepada Desa. Namun selama saya menjabat tidak terjadi banyak perubahan. Karena saya lebih banyak menghabiskan waktu untuk penggalangan masa untuk melawan penjajah. Karena pengalaman saya yang sering mengikuti perkumpulan atau organisasi nasional membuat saya bisa kenal detail tentang Bung Karno.
Ternyata di tingkat pasat pun sudah mulai ada pergerakan nasional yang mengarah pada pergerakan kemerdekaan RI. Dan kami ingat betul bahwa ayah saya adalah orang yang memiliki ilmu kebal. Konon kabarnya ayah saya pernah menangkap pesakitan atau berandalan yang sakti, sehingga ayah saya dianugerahi gelar Ki Gerda Wigura/Gerda Wana dan dari pihak pemerintah menganugerahi juga sebidang tanah khusus untuk mengubur anak cucu dan buyutnya apabila kelak meninggal dunia. Namun tuhan berkehendaklain, saya hanya menjabat dari tahun 1919 sampai dengan 1933, kurang lebih 14 tahun. Saya tetap bersumpah bahwa saya yakin bangsa jawalah yang mampu memimpin bangsanya kelak dan anak cucu kami akan jaya. Amiin..

5.        Pemerintahan Kepala Desa Suradiwangsa (1933-1949)
Suradiwangsa adalah anak seorang bangsawan, yaitu dari seorang cucu wedono yang pada zamannya juga adalah kerabat Adi Pati Honggowono (Adipati/Bupati tegal) yang ke-2 dari kalisoka.
Ayah Suradiwangsa bernama Ki Gerda Wana dari Pagiyanten. ia adalah orang yang mempunyai kesaktian. Dan sering dimintai tolong jaksa untuk mencari dan menagkap tahanan yang lari. Ki Gerda Wana mampu membuktikan kemampuannya itu, ia berhasil menangkap seorang tahanan tadi. Sebagai hadiahnya ia diberi tanah yang wilayahnya berada dihutan balai kambang sebelah utara jalan yang sekarang digunakan untuk anak cucu, cicit dan seterusnya. Hanya sayangnya hak status tanah tersebut hanya hak guna istimewa.
Di era kades Suradiwangsa belum diterbitkan PP. 10 yang mengatur tentang hak perkawinan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga pak lurah sendiri memiliki 4 orang istri. Walaupun beristri 4 kehidupan Suradiwangsa dari segi ekonomi tergolong sangat mampu.
Pada tahun 1933 Pemerintahan Belanda sudah mulai bergejolak. Dimana-mana terjadi perang, terutama yang dialami oleh pemuda jawa (Jong Java) yang memang mulai memusuhi Belanda. Hal ini karena bangsa-bangsa jawa dan masyarakat desa rajegwesi khususnya banyak yang merasa tertindas dan dibuang entah dimana rimbanya.
Pada saat itu Ki Suradiwangsa masih terpengaruh emerintahan Belanda. Ada rumah tahanan khusus bagi orang-orang yang melanggar hokum di era Kepala Desa Suradiwangsa. Banyak yang mengakui bahwa dari masing-masing istrinya telah melahirkan putra-putri yang berguna bagi nusa dan bangsa, beberapa diantara mereka ada yang menjadi guru STM di madiun, guru SMA dan bekerja di staf kementrian sekitar tahun 1945.
Setelah merdeka, muncullah beberapa partai yang menjamur di Era Orde lama. Ada juga tokoh yang seperti Bapak Proklamator (Ir. Soekarno), Pesiden RI yang pertama yaitu : Tokoh dari Darul Islam Indonesia yang bernama Raden Mas Sekartaji Marijakan Karto Suwiryo yang banyak melakukan suatu gerakan perongrong (garong) dan yang lebih dikenal lagi Tentara Indonesia Islam. Pada saat itu benteng-benteng pertahanan antara TNI Banteng Reges yang dikomandani oleh beliau bapak Kol. Ahmad Yani dan digantikan oleh Letkol Yasir dan beliau bapak Mayor Badrun.
Desa Rajegwesi bersama Desa Songgom, Kertaharja, Kedungsugih dan Karanganyar adalah benteng Pertahanan Banteng Reges dari DI/TII. Pada saat perjuangan Suradiwangsa belum sampai pada puncaknya, ia diculik oleh sekelompok orang. Kemungkinan besar itu adalah sekelompok orang dari DI/TII.sampai saat ini tidak diketahui dimana batu nisan dan rimbanya Pak lurah (Saradiwangsa).

6.        Pemerintahan Kepala Desa Dullah (1949-1951)
Dimasa pergantian dari Kepala Desa Suradiwangsa ke Kepala Desa berikutnya yaitu Bapak Dullah tidak terjadi banyak perubahan karena pada zaman itu masih ada pengaruh pemerintahan Belanda maupun Jepang (NIPON) dan banyak pula mengatasnamakan Serikat Pedagang Islam dsb.
Indonesia sendiri yang usianya masih sangat belia dalam keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Ditambah dengan gerombolan-gerombolan dan partai-partai di dalam negeri sendiri yang sengaja merongrong pemerintahan Indonesia Sendiri.
Bapak Dullah adalah seorang anak petani. Ia berasal dari keluargayang sangat religius. Saat tumbuh dewasa ia mencoba mendaftarkan diri untuk pencalonan Kepala Desa Rajegwesi, hingga akhirnya ia terpilih. Saat itu Indonesia masih dalam kepemimpinan Jepang yang wilayahnya belum sepenuhnya dapat ditarik dari kekuasaan Jepang.
Pada saat itu Kepala Desa Rajegwesi ditugasi untuk mengelola hasil bumi dengan system Noji, istilah yang tidak dapat didefinisikan berasal dari bahasa Jepang. Sempat setiap tahunnya Bapak Dullah mengumpulkan beberapa bahan pangan dari petani pribumi dan setiap setengah tahun sekali diangkut ke Negara Jepang. Kegiatan ini diistilahkan sebagai Alarem atau Malarem.
Setelah sekian lama Bangsa Indonesia mengetahui taktik yang dipergunakan oleh pemerintah jepang, sehingga tahun ketiga posisi Kepala Desa Bapak Dullah terjepit, akhirnya lari tunggang langgang karena pada saat itu rakyat dimana-mana bergerak dengan meneriakan “Serbu Noji..!! Serbu Noji..!!Serbu Noji jojol Dullah.. jojol Dullah” sehingga akhirnya Bapak Dullah meninggalkan Desa Rajegwesi hingga sekarang.




7.        Pemerintahan Kepala Desa Kaslani (1952-1954)
Setelah mengalami lepas jabatan Kades Dullah, Posisi Kepala Desa Rajegwesi digantikan oleh Bapak Kaslani. Bapak Kaslani pada saat itu tengah menjabat sebagai seorang carik (Sekretaris Desa) dari kepemimpinan Lurah Suradiwangsa hingga Lurah Dullah. Setelah Bapak Dullah lengser, terjadillah kekosongan jabatan Kepala Desa. Sehingga tanpa melalui pemilihan Bapak Kaslani diangkat menjadi Kepala Desa Rajegwesi. Dalam masa pemerintahannya, beliau banyak turut andil dalam perjuangan PETA.
Bapak Kaslani tergolong orang yang pintar, cerdas, dan pemberani. Hal ini karena ia berpendidikan cukup tinggi (SMA) di jakarta. Namun dalam kepemimpinannya ia tetap menemui banyak rintangan dan kendala. Bapak kaslani pernah menjabat ketua lurah / Kepala Desa (PRAJA). Karena terpanggil untuk menindaklanjuti perjuangan pada tahun 1945, beliau pergi ke Wonosobo bersama-sama dengan kelaskaran tentara pembela tanah air. Sehingga jabatanya digantikan oleh Bapak Sibun.
Pada saat itu Tentara Tanah Air (PETA), pergi ke Wonosbo. Sedangkan Desa Rajegwesi merupakan batas benteng pertahanan antara “Benteng Rages”. Sehingga DI/TII mengetahui bahwa tentara meninggalkan kantong-kantong benteng pertahanan, maka disitulah kesempatan emas bagi DI untuk menduduki posisi Benteng Rages. Bapak kades Sibun pun ikut menjadi korban penculikan oleh DI/TII dan sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Inilah yang menyebabkan Bapak Sibun menjabat sebagai Kepala Desa kurang lebih 3 bulan, sehingga posisi Kepala Desa pun tidak ada. Maka bapak Kaslani yang jauh dari pengasingan yaitu di Wonosobo mendapat kabar dari Bleden (Jabatan camat pada saat itu). Untuk menjadi kan Kaslani sebagai Kepala Desa Rajegwesi.
Dengan system di pilih untuk ke dua kalinya Bapak Kaslani menjabat sebagai Kepala Desa. Beliau sering ikut serta di Desa Rajegwesi dalam mengadakan perubahan. Pada saat itu ada perpindahan Desa dari wilayah Sidomulyo yang akan dijadikan “BENDUNGAN”,(Bendungan Cacaban). Sehingga Desa Sidomulyo dan Blandaran dipindahkan ke wilayah samping  Desa Rajegwesi. Bapak Kaslani menjadi salah satu panitia tentang pembagian tanah kepada warga masyarakat yang dipindahkan. Bapak Kaslani seorang pemimpin yang keras sehingga pada tahun 1956 pernah di penjara karena membela masyarakatnya selama 6 bulan.
Menurut kami Bapak Kaslani patut kita teladani, karena jasanya ia dijuluki pahlawan di desa. Namun ketika beliau baru saja keluar dari penjara, beliau telah diintai oleh kelompok DI/TII. Maka terjadilah Konfrontasi dan penyerangan dari pihak DI/TII yang menyebabkan bapak Kaslani tewas seketika. Beliau dimakamkan di Desa Pagerbarang tempat kelahirannya.

8.        Pemerintahan Kepala Desa Sibun (1954-1954)
Bapak Sibun menjabat sebagai Kepala Desa Rajegwesi menggantikan bapak Kaslani yang pada saat itu harus pindah ke Wonosobo bersama lascar PETA. Namun kepemimpinannya hanya berlangsung selama 3 bulan, Karena beliau menjadi korban penculikan oleh DI/TII yang sampai sekarang tidak dapat diketahui rimbanya.

9.        Pemerintahan Kepala Desa Kaslani (1954-1956)
Karena tidak ada posisi jabatan di Kepala Desa Rajegwesi akibat diculiknya Bapak kades Sibun. Akhirnya bapak Kaslani di tunjuk kembali menjadi Kepala Desa Rajegwesi. Beliau wafat karena menjadi korban penyerangan oleh DI/TII.

10.    Pemerintahan Kepala Desa Soemarjo Wijaya (1956-1957)
Pada tahun 2007, saat itu saya didatangi oleh Kepala Desa Rajegwesi yaitu Bapak Haryoto, Beliau menanyakan pengalaman dan perjalanan saat saya menjabat sebagai Kepala Desa. Ketika itu saya bertanya untuk apa pak lurah menanyakan tentang itu. Ternyata beliau ingin tahu tentang perjalanan dan asal-usul Desa Rajegwesi, dan saya menjawab bahwa saya hanya mampu menceritakan tentang diri saya saja. Lalu Pak kades mengangguk seraya berkata “ya, tidak apa-apa” dan disinilah saya mulai mengingat-ingat dan mulai menceritakan tentang kepemimpinan saya selama menjadi Kades.
Saya dilahirkan pada tahun 1927 M. saya diberi nama Soemarjo Wijaya, saya dilahirkan dikeluarga yang sederhana, akan tetapi saya sempat disekolahkan oleh orang tua saya sampai lulus SR 3 tahun dan konon kabarnya Mbah saya pun seorang Kepala Desa dan saya tumbuh seperti hal nya anak desa yang lain, orang tua saya juga termasuk seorang pejuang kemerdekaan.
Ketika saya berusia 17 tahun saya diperbantukan sebagai seorang carik, dan pada usia 22 tahun saya resmi menjabat sebagai carik Desa Rajegwesi, dan pada pertengahan tahun 1956 saat itu mengalami dua kali masa jabatan yaitu kades Sibun dan Bapak Kastami.
Memang semuanya kembali pada suratan, bahwa kalau memang ada jatahnya, Allah akan memberikan suatu amanah pada tahun 1956 ada suatu kekosongan Kepala Desa karena Bapak Kaslani selaku Kades telah meninggal di tembak oleh gerombolan DI/TII pada saat itu saya ikut mencalonkan diri sebagai calon Kepala Desa. Saya ingat betul bersama saya ada 5 orang yaitu:
1.      Ki Sudgar Bau
2.      Dakim
3.      Tabas
4.      Radam Lebe
5.      Soemarjo Wijaya
Alhamdulillah saya terpilih dan dilantik tahun 1956, dari sinilah saya mulai berkarya dengan posisi sebagai Kepala Desa dan pada saat itu memang desa ini sama sekali belum mempunyai Balai Desa (Kantor Desa). Dan Alhamdulillah pada tahun ke-3 kami dapat membangun Kantor Balai Desa dengan Gotong Royong, dan pada tahun 1957 kami bersama masyarakat dapat membeli tanah kepada Kepala Desa Sidomulyo yang sekarang dipergunakan untuk lapangan sepak bola.
Desa Rajegwesi termasuk ke dalam batas-batas wilayah pertahanan Bataliyon Banteng Redes dengan DI/TII dan AIDH telah memberi banyak jalan sehingga kami pun tetap berjuang menghadang pengacau/gerombolan selama menjabat, ditambah lagi pada saat itu di tahun 1962 sudah mulai desas-desus tentang PKI sehingga semua itu semakin menambah keruh suasana pada waktu itu.
Tahun 1965 terjadi gelombang Revolusi yaitu meletusnya G30S PKI, dan pada saat itu juga banyak warga kami yang menjadi korban tentang penghianatan PKI. Meskipun keadaan demikian, kami sempat menindak lanjuti program-program dari Kepala Desa sebelumnya. Contohnya membangun jembatan yang sebelumnya masih menggunakan bambu telah diganti dengan BUK (Beton Batu Merah), di tahun 70-an kami banyak mengalami perubahan yang berarti yaitu pada era pemerintahan Bapak Soeharto Sebagai presidennya, namun ditahun 1975 pemerintah daerah telah menerbitkan PERDA yang mengatur tentang jabatan KADES sehingga pada saat itu kami mengajukan surat permohonan untuk perlove dan pada tahun itu saya juga berhenti menjabat sebagai Kepala Desa.

11.   Pemerintahan Kepala Desa Tarmoedi S. (1975-1986)
Pada tahun 1952 saya dipanggil bapak “Mud, kesinilah nak, Bapak mau bicara” lalu saya mendekat dan duduk di depan Bapak, dan Bapak mulai berbicara “Mud, kamu adalah anak saya yang pertama dan suatu kebetulan kamu dilahirkan sebagai seorang laki-laki yang sudah sepantasnya bapak punya harapan, kelak kamu akan menjadi imam, imam dalam arti kata menjadi seorang yang didepan maka dari itu mulai sekarang kamu harus mengutamakan ilmu agama” lalu saya mengangguk seraya menjawab “Insyaallah pak” dan saat itu bapak menyuruh saya pergi bermain karena pada saat itu ada seorang tamu, saudara Bapak dari Randusari. Demikian ucapan bapak Bapak Saya yang sangat penting dan patut untuk kita tauladani, mungkin dari sinilah saya mulai belajar ilmu agama yang diawali dari Madrasah.
Saya ingat betul sekolah MI nya sangat jauh di Desa Randusari, sehingga kadang-kadang agak malas untuk berangkat, akan tetapi berkat bimbingan Bapak saya yang sangat taat kepada ilmu agama, sehingga Alhamdulillah saya sanggup hingga lulus MI. karena saya dilahirkan dikeluarga yang pas-pasan maka saya tidak melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi. Bapak tergolong orang yang taqwa karena beliau termasuk ulama pada masa itu, tugas bapak seorang imam di Masjid yang sekarang bernama Masjid Baiturrohim Desa Rajegwesi. Setelah menginjak dewasa kira-kira umur 16 tahun saya ikut bekerja di Jawa Barat, tepatnya membuat Bendungan yaitu Waduk Jati Luhur, kami bekerja sebagai kuli bangunan dan keadaannya sangat menjepit, Insyaallah kami tidak ketinggalan Iman dan Taqwa Kepada Allah SWT, di Jati Luhur Saya bekerja selama 9 tahun ditahun 1960-1969 dan pada tahun 1970 saya pulang kampong. Di kampong halaman saya sempat melatih seni yang bernafaskan islam yaitu seni rebana (Kuntulan). Namun dalam hal ini saya tidak bertahan lama. Saya kembali merantau ke Jakarta untuk menagis rejeki disana.
Pada tahun 1972-1973 saya diminta untuk pulang kampung dan mengikuti Pilkades serta unggul dalam pemilihannya. Pada tahun 1975 kami dilantik menjadi kades di Desa Rajegwesi di dalam melaksanakan tugas sebagai kades saya dibantu oleh banyak staf diantaranya seorang Carik bernama Tarso dan seorang Bau yaitu Wahidi, seorang polisi I Bapak Warso, Polisi II Sutarno dan Kebayan Bapak Durat, kemudian Modin yaitu Bapak Bapak Mas’ud.
Di dalam melaksanakan tugas, saya tidak terlalu banyak berandai-andai, hanya kami mempunyai cita-cita semoga warga kami di Desa Rajegwesi sedikit demi sedikit memperlajari tentang ilmu agama dan Alhamdulillah rupanya Allah banyak memberikan hidayah sehingga warga kami berangsur-angsur sadar dan menjalankan kewajibannya, karena segala pekerjaan diatur oleh waktu dan didasari oleh aturan sehingga pada akhir tahun 1989 masa jabatan saya telah usai dan saya kembali dipercaya oleh masyarakat sebagai seksi keagamaan. Semoga dengan amal dan perbuatan kami Allah senantiasa mengampuni segala dosa-dosa kami, Amiin.

12.   Pemerintahan Kepala Desa Tohir (1986-1996)
Pada suatu hari kira-kira jam 21.30 WIB, saya dipanggil bapak saya yang kebetulan sedang memberi makan kerbau, karena orang tua saya juga mempunyai peternakan kerbau, karena pada say saya kecil kerbau banyak digunakan untuk membajak sawah oleh para petani, bapak saya bernama Sapan, dan ketika itu beliau berkata “Hir, kemarilaj nak” lalu saya mendekat dan duduk didepan bapak saya, kemudian bapak saya bertanya “kau sedang apa?” bapak melanjutkan perkataannya “begini hir, apakah kamu sudah mengetahui hari apa kamu lahir?” saya pun menjawab “belum pak” dan bapak pun menjawab “kamu lahir pada hari rabu, 16 Agustus 1945 dan kata mbah kamu yang berada di Balapulang kelak kamu akan menjadi orang yang selalu memberi kepada orang banyak dan karena kamu lahir pada hari rabu, maka jika kamu mau menanam sesuati pasti akan menghasikan yang terbaik” dan saya menjawab “masa pak?”, “iya nak” bapak benjawab dan itu merupakan kata-kata bapak saya yang menjadi pedoman yang selalu saya ingat sepanjang hidup.
Saya terlahr dari keluarga yang sederhana, keluarga yang mempunyai banyak anak, hanya herannya kata-kata bapak saya sama seperti yang saya fikirkan, karena saya bercita-cita ingin berguna bagi orang banyak dan ingin selalu membantu orang yang patut untuk dibantu, karena adik-adik saya banyak, saya pun hanya mengenyam pendidikan formal yakni di Sekolah Rakyar (SR), di umur 16 tahun saya menjadi buruh tetap di Kepala Desa pada waktu itu yaitu Kades Soemarjo Wijaya, disinilah saya banyak meninba ilmu, baik ilmu pertanian maupun ilmu social maupun ilmu politik yang sangat berhubungan erat dengan kehidupan bermasyarakat. Kira-kira 4 tahun saya mengabdi kepada bapak Soemarjo Wijaya dan pada umur 21 tahun saya mengabdi di desa sebagai hansip (Pertahanan Sipil). Bersamaan dengan itu saya juga mengabdi kepada Perum Perhutani sebagai mandor jaga (POLHUT), tetapi dengan sifat saya yang tidak tega, maka saya keluar dari mandor jaga karena setiap hari saya harus berhadapan dengan masyarakat Desa Rajegwesi baik yang mencari kayu atau daun karena pada waktu itu orang yang mencari daun atau kayu jika tertangkap bisa di hukum (Masa Orde Baru). Pada tahun 1983 saya masuk staf desa, menjabat sebagai perangkat desa namun tidak lama kemudian saya mengikuti Pilkades dan pada saat itu hanya 3 calon yang lulus ujian yakni diantaranya:
1.      Tasori dari tokoh pemuda
2.      Tohir dari tokoh masyarakat
3.      Wahadi dari perangkat desa (Bau)
Alhamdulillah saya memperoleh suara terbanyak, sehingga saya terpilih menjadi kades Rajegwesi pada tahun 1989, dan pada saat itu kami pun menyadari selama pemerintahan orde baru ada suatu sistem yaitu mono loyalitas sehingga tak heran mana kala saat itu kami mendapatkan suatu kursus yang berindikasi pada mayoritan tunggan untuk Golkar, dalam bidang politik, dan pada bidang pemuda dan olahraga Alhamdulillah saya senang dibidang olahraga sehingga saya menjalaninya khususnya sepak bola.
Selama saya menjabat menjadi Kepala Desa, saya banyak mendapat suatu Piagam dan sertifikat, diantaranya piagam P.4 pada tahun 1990 dan pada tahun 1994 ikut diklat LKMD, tahun 1996 pelantikan peningkatan kemampuan kades dan lain sebagainya, yang penting saya ingin mengabdikan diri pada masyarakat. Alhamdulillah cita-cita saya tercapai semua, maka dengan ini saya hanya berpesan pada anak muda “jangan sampai  kacang lupa pada kulitnya”, karena jabatan saya diatur oleh waktu sehingga saya mengakhiri masa jabatan pada tahun 1996 (masa jabatan 10 tahun) karena PERDA yang mengaturnya dan siapa pun yang menggantikan posisi saya semoga akan lebih maju, Amiin.

13.   Pemerintahan Kepala Desa Warjo (1997-2006)
Pada masa transisi dari pemerintahan Bapak Tohir ke Bapak Warjo, diawali melalui kompetisi dibidang politik praktis desa. Pada tahun 1997 terdapat 5 Calon Kepala Desa dan Alhamdulillah saya terpilih menjadi Kepala Desa. Padahal kalau dipikir secara nalar saya hanya bermodalkan apa yang saya miliki baik secara moril maupun materi. saya pun menyadari hanya anak seorang modin (lebey) pada saat itu.
Pada awal pemerintahan, saya mendapat banyak kesulitan. Maklum jabatan Kepala Desa bukan jabatan professional, akan tetapi jabatan politik yang tidak ada tingkat basic dalam kependidikan formal. Sehingga pada awal saya bekerja menemui banyak kendala baik layanan masyarakat Rajegwesi pada khususnya dan untuk wilayah Kecamatan Pagerbarang pada umumnya. Merubah suatu kebiasaan tentang kehidupan seseorang apalagi tingkat kehidupan masyarakat pada umumnya tidak semudah apa yang saya bayangkan, dan saya menyadari latar belakang masyarakat Desa Rajegwesi pada saat itu pendidikannya masih sangat rendah. Apalagi pemahaman tentang kesadaran hukum. Suatu kebetulan wilayah hokum masyarakat desa berbatasan dengan wilayah hukum Perhutani KRPH WANAYASA. Sehingga  dengan hukum alam yang di pahami oleh warga masyarakat kami anggapannya bahwa mencari kayu di hutan itu hukumnya sah-sah saja. Padahal secara hukum bahwa siapapun yang membawa kayu ataupun sejenisnya di dapat dari wilayah hutan, tentu saja itu melanggar hukum yang berlaku. Pada waktu itu banyak warga yang terlibat dalam kasus yang mengarah pada upaya hukum. Pada awal tahun 1998 ada suatu peristiwa yang maha dahsyat dampak dari revormasi yang kebablasan. Sehingga mengusik pada kontak perasaan pada masyarakat desa yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Contohnya : menjalarnya suatu revormasi sehingga warga kami pun banyak yang melakukan penjarahan hutan sampai wilayah hokum KRPH WANAYASA, dengan dalih bahwa kami mewarisi harta bendanya bapak Soeharto selaku Presiden RI yang saat itu lengser dari jabatannya. Disisi lain sudah jelas bahwa semua orang yang melakukan tindakan penjarahan ataupun sejenisnya itu patut diberi sangsi hukum. Pada saat itu juga banyak warga kami yang masuk trails besi. Namun dibalik itu semua, atas dasar inisiatif sesame instasi, kami bersama-sama mampu mengakhiri penjarahan. Pada tahun 2000 tidak begitu banyak warga masyarakat kami yang terjebak dalam hokum.dibawah pemerintahan kami tidak banyak mengalami perubahan baik pembangunan infrastruktur ataupun non infrastruktur, dan ditahun 2005 ada program pemerintah melalui PPK (Proyek Pengembangan Kecamatan) yang sangat menunjang pembangunan infrastruktur di Desa Rajegwesi.PPK hanya berjalan 2 tahun anggaran. Pada  tahun 2006 tepatnya tanggal 20 November berakhirlah masa jabatan kepala desa yang telah diatur pada Perda Kabupaten Tegal. Semoga dengan sekilas cerita ini dapat menjadi acuan bagi generasi yang akan dating. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan hidayahnya amin ya robbal alamin.

14.   Pemerintahan Kepala Desa Haryoto (2007-2013)
Pada tahun 1964, saya ingat betul saat saat itu tengah ditimang-timang oleh Sutarno bapak saya sambil berkata “nak Har, kamu kelak menjadi pengayom orang banyak” waktu kian berlalu dan saya tidak memungkiri bahwa saya dilahirkan ditengah-tengah keluarga petani. Walaupun bapak saya seorang Polisi, namun masa kecil sudah biasa saya habiskan untyk menggembala kerbau, kambing dan itik. Tahun 1972 Saya lulus SD, pada saat itu belum ada kelas 6 di desa kami, Sehingga saya melanjutkan di Desa Kecamatan (Pagerbarang)dan melanjutkan pendidikan ditingkat selanjutnya.
Saya pernah merantau ke Jakarta. Disana banyak pengalaaman yang saya dapatkan, terutama dari berbagai profesi yang saya lakukan diantaranya menarik becak, bajaj dan supir taksi. mungkin Allah SWT telah menuliskan suratan pada diri saya sehingga pada saat itu saya mendapat panggilan dari Semarang untung mengikuti ujuan CPNS, Alhamdulillah saya lulus dan menjadi PNS. Saya sadar betul PNS hanyalah golongan rendah, namun saya tetap bersyukur dan bangga. Saya yakin bahwa firman Allah SWT tidak akan membohongi hambanya. Semakin banyak kita bersyukur, Allah akan memberi banyak rohmat dan hidayahnya lebih dari apa yang diucapkan. Dengan pengabdian yang tulus saya selalu berdoa kelak dalam perjalanan saya selanjutnya Allah akan selalu memberikan limpahan rohmat. Dan dengan berbekal keyakinan ucapan bapak saya pada saat kecil, setelah saya mengabdikan diri kurang lebih 26 tahun, saya mencoba memberanikan untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Pada saat itu saya masih bertempat tinggal di Desa Blubuk Kecamatan Slawi.
Alhamdulillah berkat dukungan dari semua pihak, saya terpilih dalam pemilihan Kepala Desa Rajegwesi pada hari senin, 20 Februari 2007, hingga akhirnya saya dilantik menjadi Kepala Desa Rajegwesi. Dengan niat yang ikhlas disertai ucapan bismillah saya mulai menempati kantor Kepala Desa. Memimpin suatu Desa tidaklah mudah, dengan bekalilmu dan SDM yang minim, sebisa mungkin saya mencoba untuk melangkah dibantu oleh Staf-staf saya yang terdiri dari KASI, KAUR dan SEKDES.
Di awal pemerintahan, kami harus menyelesaikan banyak pekerjaan rumah terutama dibidang pembangunan fisik dan non fisik. Saya lira manajemen suatu Desa sangatlah mudah, namun ternyat tidak semudah yang saya banyangkan. Merujuk pada semboyan “apalagi menggerakan manusia yang terdiri dari tulang, daging, darah dan kulit, sedangkan yang mampu kita mainkan hanyalah tulang dan kulit”. Namun dalam hal ini terjadi kesalahan yang fatal dan kita tidak bisa berpedoman pada hal ini saja, hanya berbekal “aku orang yang sangat bodoh”. Alhamdulillah sedikit demi sedikit saya mulai mapu untuk mengayunkan kaki demi berjalannya suatu pemerintahan desa. Saya selalu berpedoman dari peribahasa “kami kepala desa harus siap menjadi kepala desa lurah harus bisa ngulur amarah dan kata-kata pekel harus bisa membekali”.
Pada tahun 2007 saya mulai membangun infrastruktur yaitu penyelesaian jembatan Desa dukuh petung wilayang Rajegwesi Timur. Pada tahun 2008 kami bersama warga mengerjakan jalur pantundes (Pintu Utama Desa) hingga pada tahun berikutnya melanjutkan pengaspalan Jalindes (Jalan Lingkar Desa) yang sumber dananya berasal dari ADD dan PNPM. Pada tahun 2010 dan 2011 sempat terlaksana pembangunan infrastruktur dibidang akslarasi yaitu pembuatan parit dan drainase. Sebenarnya yang saya dambakan adalah merealisasikan pembangunan non fisik yaitu pembentukan karakterisktik dan sikap yang baik bagi warga masyarakat Desa Rajegwesi.
Keinginan saya adalah membuat suatu rangkaian cerita mengenai Asal-usul Desa Rajegwesi, yang setidaknya menjadi bahan bacaan warga sekaligus mengabadikan sejarah dalam masyarakat. Dalam penyusunan buku ini saya mencari tahu dari beberapa narasumber diantaranya dari para kades terdahulu. Selain itu karena saya seorang dalang saya sedikit tau tentang sejarah baik nasional maupun regional. Dari sinilah saya mulai menyusun cerita asal-usul Desa Rajegwesi, termasuk daftar Kepala Desa dari tahun ke tahun sampai pada pemerintahan saya tahun 2007 yang akan berakhir pada tahun 2013. ini semua karena naluri saya dalam bidang seni yang sangat kental, sehingga keinginan saya menjaga kelestarian nilai-nilai seni, budaya, adat dan tradisi nenek moyang terdahulu. Walaupun saya seorang Kepala Desa tidak jarang saya tahu kesenian rakyat antara lain:
-  Seni pergelaran wayang kulit
-  Kesenian pemeda
-  Kesenian kuda lumping
Seiring perjalanan waktu, telah terjadi pergeseran nilai sosial baik budaya maupun agama, sehingga kesenian tradisional hampir saja punah. Maka dengan ini saya yang insyaallah masih mengerti sedikit nilai-nilai luhur budaya berusaha untuk mempertahankannya agar tidak luntur begitu saja. Pemerintahan 6 tahun sangatlah cepat untuk membenahi semua itu. Mudah-mudahan kelak yang menjabat sebagai Kepala Desa Rajegwesi dapat mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai baik dan luhur. Sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan sehingga segala kesalahan kita pendam dalam-dalam dan saya bersemboyan dimasa depan “Indonesia tetap jaya, Rajegwesi pasti berisi”.
Alhamdulillah keinginan saya membuat Buku Asal-usul Desa Rajegwesi telah terwujud. Semoga bermanfaat bagi generasi penerus Desa Rajegwesi khususnya dan Kabupaten Tegal pada umumnya. Dan agar generasi penerus kita lebih tahu dan mengerti betapa pentingnya suatu sejarah. Karena tanpa sejarah hidup bernegara takkan terarah dan semoga setelah terwujudnya sebuah buku “Asal-usul Desa Rajegwesi” Allah SWT senantiasa memberkatinya. Aamiin.

#PENYUSUN : Bpk. HARYOTO (KEPALA DESA RAJEGWESI )

#EDITOR : TIM KKN POSDAYA UNIV. PANCASAKTI TEGAL 2012

6 comments:

halim mubaroq said...

HEBAT NEMEN YAH,,ESIH KEMUTAN SEJARAH

halim mubaroq said...

hebat nemen yakin

Unknown said...

mesti di dokumentasikena keh....ben go putu buyut e ngko....

Unknown said...

apa ada hubungnya dengan "Pagerwesi "yg disebut dalam naskah bujangga Manik???, kalau benar Rajegwesi perubahan dari Pagerwesi, itu artinya Rajegwesi desa yg sangat tua.

Unknown said...

saya sangat meng-apresiasi penulisan sejarah desa rajegwesi.
harapan saya, terus bisa mendapat input (melengkapi) atau koreksi (untuk meluruskan) agar nilai sejarah menjadi lebih komprehensif sebagai warisan anak cucu.
saya sebagai masyarakat pegerbarang malah masih mencari dimana sejarah desa pagerbarang? siapa yang menulis? seperti apa nilai sejarahnya?

Unknown said...

Saya cucu dari kades suradiwangsa

 
Kirim pesan ke admin
×
_

Hai! Kamu bisa kirim pesan ke Admin di sini, jangan lupa LIKE fanspagenya ya... Terima kasih.