Pada
abad ke-16 kira-kira tahun 1625, saat itu adi pati Tegal masa pergantian dari
Ki Gede Honggowono beralih ke P.A. Martoloyo yang kebetulan masa-masa
pergantian dengan sistem pemilihan yaitu beberapa senopati/adipati yang sengaja
di kirim sebagai kaladuta 1 (Benteng pertahanan untuk menghadapi walanda), oleh
beliau Sultan Agungh di pusat Mataram.
Setelah sedikit tentram di wilayah
Tegal Sultan Agung, merupakan pemilihan Bupati diantaranya Adi Pati Rajegwesi
dan P. A. Martoloyo ternyata setelah pemilihan berlangsung yang terpilih adalah
pangeran Anom Martoloyo dan Adipati Rajegwesi yang berasal dari kadipaten
pacitan mengubah namanya menjadi “Ki Ageng Petir”. Sebenarnya Ki Adipati
Rajegwesi sendiri ditugaskan atau diangkat menjadi “Ki Mengku Demang”. Namun Ki
Ageng Petir (Adipati Rajegwesi) tidak berkenan menerima jabatan mengkudemang
setara dengan wedono (Pembantu Bupati).
Ki Ageng Petir (Adipati Rajegwesi) memilih menjadi kraman atau berandal yang pada saat itu memang dengan bermodalkan ilmu kanuragan kasantosan (Aji Nyawa Rontek), yang mikir dengan “Aji Panca Sona, dan bernama Ki Ageng Petir”, memang benar-benar memiliki kekuatan seperti petir karena konon sempat diberi ilmu oleh Ki Ageng Selo yang konon bisa menangkap dan mengumpulkan tenaga petir di zaman demak bintara. Singkat cerita, sebenarnya nama “Desa Rajegwesi”, ada hubungan erat dengan nama “Slawi Ayu”, dalam bahasa jawanya berarti Slawe (Duapuluh Lima), yang sekarang menjadi pusat pemrintahan di Kabupaten Tegal.
Ki Ageng Petir (Adipati Rajegwesi) memilih menjadi kraman atau berandal yang pada saat itu memang dengan bermodalkan ilmu kanuragan kasantosan (Aji Nyawa Rontek), yang mikir dengan “Aji Panca Sona, dan bernama Ki Ageng Petir”, memang benar-benar memiliki kekuatan seperti petir karena konon sempat diberi ilmu oleh Ki Ageng Selo yang konon bisa menangkap dan mengumpulkan tenaga petir di zaman demak bintara. Singkat cerita, sebenarnya nama “Desa Rajegwesi”, ada hubungan erat dengan nama “Slawi Ayu”, dalam bahasa jawanya berarti Slawe (Duapuluh Lima), yang sekarang menjadi pusat pemrintahan di Kabupaten Tegal.
Kembali ke asul-usul desa Rajegwesi
pada zaman P. A. Martoloyo, Tegal merupakan kota yang tidak nyaman, Karena
terganggu oleh sepak terjang P. A. Martoloyo
mengadakan “ Giri Patemboyon”, ( Sayembara) yang isinya : “barang siapa mampu
menangkapnya dalam keadaan hidup/mati, akan mendapatkan imbalan atau hadiah.
Diantaranya : Menjadi putra menantu Bupati P. A. Martoloyo yaitu akan menikah
dengan putrinya yang bersama Dyah Ayu Nimas Ronggeh.
Setelah P. A. Martoloyo mengadakan
sayembara tersebut banyak nagari/daerah (kadipaten), datang mengikuti sayembara
tersebut. Nagari randu lawang (Brebes)
dan lainya yang berjumlah duapuluh lima (asal-usul nama Slawi). Sejauh P. A.
Martoloyo mengadakan sayembara tidak ada satupun yang mampu menangkap Ki Ageng Petir (Adipati
Rajegwesi). Terkecuali ksatria dari Palembang yaitu Putra Prabu Sriwijaya yang
bernama R. A. Tlampar Ranggono. Melalui pertunjukan “Ledhek atau Tayub”, (Pertunjukan Rakyat) yang
diadakan untuk menjebak Ki Ageng Petir ( Adipati Rajegwesi), Para preman
brandal, dan kraman. Namun setelah Ki Ageng Petir tertangkap, Kesaktiannya
tidak ada satupun yang mampu untuk melindungi dan membunuhnya. Kemudian oleh
temenggung juru nawon (Ajudan raja dari Mataram) mengusulkan untuk
memotong-motong tubuh Ki Ageng Petir
menjadi beberapa bagian yang kemudian harus dipisahkan ke beberapa tempat yang
mempunyai aliran sungai dan sebelum dimakamkan potongan tubuh itu harus di
ajang-ajang selama 7 hari lamanya. Salah satu anggota tubuh Ki Ageng Petir ada
yang di buang ke tengah hutan (candi bandotan atau candi banditan). Dahulu,
kepala Ki Ageng Petir sendiri dimakamkan
ke wilayah Sendang Gayung yang kemudian di pagar menggunakan besi ( Rajegwesi).
Setelah kematian Ki Ageng Petir
sendiri (Yang dipercaya menjadi awal terbentuknya nama desa Rajegwesi). Maka
raja Mataram Sultan Agung Hanyakrowati bersabda “ Heeeh!!!!!......... Saputra
wayah ku iki wis balik menyang asale”, (Adipati Rajegwesi sudah pulang ke
asalnya). Dengan berkembangnya waktu dan zaman masyarakat Sendang Guyang sendiri itu menjadi sebuah dusun yang
kemudian dikenal dengan nama Desa Rajegwesi (Asal Kepala Ki Ageng Petir yang
terkubur dan dipagar menggunakan besi).
Penetapan nama Rajegwesi sendiri
kira-kira pada tahun 1672 pada masa P. A. Martloyo hampir berakhir. Kami ingi
tahu tentang awal pemerintahan yang ada di Desa Rajegwesi, setelah terbentuknya
suatu wilayah hukum dalam masyarakat yang mempunyai batas-batas wilayah. Maka mulailah
ada suatu bentuk tatanan keluarga pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
Namun mulai tahun 1672 sampai dengan sekitar tahun 1887
kami tidak mengetahui secara pasti siapa yang menjadi kepala desa atau kepala
pemerintahannya. Setelah kami telusuri ke beberapa sumber dan narasumber yang
dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bahwa kepala desa pada masa itu
(1887) yaitu Bapak “ Suwargi Taham”.
Sejarah
Pemerintahan
di Desa Rajegwesi
1.
Pemerintahan
Kepala Desa Taham (1888-1896)
Bapak
Taham adalah anak dari seorang petani yang bernama Ki Wangsa dan Ibu Warsiah. Beliau
lahir kurang lebih pada abad 18, tahun 1841.
Pada saat kondisi desa Rajegwesi sangat memperhatikan, di saat masa
sistem kerajaan. Semua peninggalan kerajaan Majapahit kuno. Kehidupannya sama
dengan masyarakat lain pada umumnya, dan tidak pernah merasakan pendidikan
formal seperti sekarang.
Pada
usia 11 tahun, ayah beliau meninggal duania. Sepeninggalan ayahnya Taham
bekerja sebagai Ngenger atau buruh pemeliharaan kerbau, milik Sindu orang
balaradin. Dari pak Sindu inilah Tahap bisa mengambil pelajaran yang berharga
yaitu ilmu tentang hidup dalam
bermasyarakat.
Pak
Sindu sendiri adalah seorang yang terpandang dan tokoh masyarakat pada masa
itu. Cukup lama Taham bekerja pada pak Sindu,ia pun mendapatkan imbalan dua
anak kerbau.Setelah itu Taham kembali kekampungnya Rajegwesi. Dengan bekal dua anak kerbau
imbalan dari pak Sindu Dan Taham menikah pada usia 23 tahun. Kemudian
mendapatkan kepercayaan dari seorang camat untuk menjadi kepala desa di
Rajegwesi pada usia 46 tahun.
Dalam
perjalanan menjadi kepala desa beliau sering mendapat tekanan-tekanan dari
pihak Belanda. Pada masa pemerintahannya beliau hanya bisa menentukan
batas-batas wilayah desa. Pak taham menjabat kepala desa dari tahun 1888-1896.
Dalam perjalanan hidupnya Taham pernah berpesan kepada anak-cucunya “ Akurlah
dengan saudara kamu biar rajegwesi semakin ramai dan nyaman”, Amin.
2.
Pemerintahan
Kepala Desa Rasijam ( 1896-1907)
Sepeninggalan
dari kepala desa Taham, desa Rajegwesi di pimpin oleh Bapak Rasijan, beliau
adalah keponakan dari bapak Taham. Beliau lahir dan hidup dari keluarga yang
serba kekurangan. Ayahnya Rasijan di percaya oleh belanda untuk memelihara
kebun tembakau milik belanda. Saat Rasijan berusia kurang lebih 23 tahun
ayahnya pergi untuk menjual tembakau ke kota. Namun ayahnya tidak pernah pulang
dan tidak seorang yang tahu arah rimbanya. Sebagai anak tertua dikeluarganya,
Rasijan menjadi tulang punggung keluarganya. Ia harus mengganjtikan posisi
ayahnya dari memenuhi kebutuhan ibu, ketujuh saudaranya, dan harus memelihara
tembakau seperti yang dikerjakan ayahnya terdahulu.
Karena
kondisi keluarganya yang serba kekurangan, Rasijan tidak dapat mengenyam
pendidikan formal. Ia hanya berguru dari seorang Belanda tempat dimana Rasijan
mengurus kebun tembakau, yaitu ; Tuan Franxi, Leawt tuannya Rasijan banyak mengambil ilmu,
“terutama ilmu perdagangan”.
Pada
usia kurang lebih 24 tahun Rasijan
memutuskan menikah. Pada suatu saat Rasijan kembali ke Desa Rajegwesi, ia di
datangi oleh seorang “Upas Bladen”, (
Camat pada saat itu). Camat tersebut meminta Rasijan untuk menggantikan posisi
pamannya Taham yang telah meninggal.
Demi
mengabdikan diri kepada kampungnya Rasijan pun menjadi kepala desa. Dalam
perjalanan hidupnya menjadi kepala desa sering mendapat tekanan dari pihak
penjajah. Rasijan meninggal dunia pada tahun 1907 dan meninggalkan empat orang
anak, dua laki-laki, dan dua perempuan. Tidak banyak yang dilakukan oleh
Rasijan dalam masa jabatannya, namun ia telah bisa menjadi panutan yang baik
dan berperan penting dalam mengembangkan desa rajegwesi.
3.
Pemerintahan
Kepala Desa Banda Lancong / Bancong (1907-1919)
Setelah
kepala desa Rasijam meninggal dunia, dahulu Rajegwesi dipimpin oleh kepala desa
yang bernama Bancong alias Surban. Mungkin titik temu antra bapak Bancong dari
Surabaya dan ibunya yang berasal dari Bandung. Blancong dilahirkan pada abad
ke-18 akhir, sekitar tahun 1860. Ayah Blancong seorang prantau sehingga tidak
aneh jika ia sering di ajak oleh ayahnya untuk pulang pergi antara Tegal,
Jakarta, dan Surabaya. Ayah Blancong adalah seorang pedagang kecil, Beliau
menjual barang kelontong dan kebutuhan rumah tangga.
Blancong
hidup bersama tiga saudaranya, dua laki-laki dan satu perempuan. Blancong sendiri anak yang kedua sedangkan
adiknya seorang perempuan. Dengan keadaan yang demikian Blancong hanya menempuh
pendidikan “kelompok rakyat”,( PKR). Tidak banyak yang dilakukan Blancong
dimasa hidupnya, namun beliau tidak patah menyerah. Pengalaman dagang dari Tuan
Kjiser Black seorang berkebangsaan Belanda tidak disia-siakan, Setelah berusia
28 tahun. Menikah dengan perempuan dari pekalongan.
Setelah
kira-kira berusia 46 tahun, Blancong dipilih untuk menjadi seorang kepala
desa di Rajegwesi. Selama masa jabatanya
hanya mampu membuat sebuah denah-denah jalan yang ada di desa yang
menghubungkan pada desa-desa tetangga. Diantaranya desa Dukuh Glagah (
Srengseng). Di masa kepemimpinannya juga membangun jembatan penyeberangan yang
menghubungkan desa sebelah seletan sungai dengan desa sebelah utara sungai. Dan
maklum saat itu juga saya membentuk jalan-jalan desa yang lainya diantara jalan
melingkar 1 desa.
Di
bidang pertanian Blancong haya mampu memberi contoh untuk menanam padi darat
atau padi gagah genjah. Ia juga ingat betul di bawah pengawasan pemerintah
Belanda. Selain itu juga membangun saluran air dari desa Balapulang, Cibunara,
Srengseng, dan sampai ke wilayah Rajegwesi. Namun pada pemerintahan ini juga
tidak banyak mengalami suatu perubahan karena Belanda tetap memberi suatu
penekanan-penekanan yang sangat ber arti bagi pemerintahan asli pribumi ( Wong
Jawa).
Dalam
benak beliau sebagai seorang pemimpin ada sebuah kenyakinan dan harapan yang
besar, bahwa kelak bangsa jawa pasti akan tetap merdeka yang penting selalu
berbuat yang terbaik bagi rakyat. Dan beliau berpesan kalau ingin menjadi orang
rajegwesi, “yang selamanya bisa keras dan bisa lunak”. Percayalah pasti terbukti,
Banda Lancong menjabat sebagai kepala desa rajegwesi hanya sampai tahun 1919
(sebelum merdeka).
4.
Pemerintahan
Kepala Desa Surawijaya (1919-1933)
Pada zaman itu, saya masih ragu akan mengurai kekusutan untuk
mengakui keindahan sejarah khususnya desa kami yakni desa Rajegwesi. Suatu hari
saya di panggil oleh ayah saya yang bernama Ki Gede Wangsa yang menurut cerita
bekas wedana pada masanya. Pada saat itu
pusat pemerintahan kawedanan berpusat di desa Pagiyanten. Menurut ayah, saya
dilahirkan sebagai masyarakat pada umumnya.yang hanya saya ingat adalah saya disekolahkan oleh ayah saya selama 2
tahun di warunci. di masa kanak-kanak kami sering berekreasi, walau saat itu hanya
memiliki kendaraan berupa kuda. Ayah saya tergolong orang yang mampu, karena ayah
adalah seorang pendatang pensiunan yang saat itu memiliki 3 ekor kuda.
Namun pada saat itu yang Saya fikirkan adalah ingin membentuk suatu
kelompok yang difungsikan untuk memikirkan masalah nasib pribumi. Setelah
menginjak dewasa kira-kira usia 19 tahun saya sering mengikuti perkumpulan atau
organisasi yang mengarah pada gerakan anti walanda (Belanda). Pada saat itu
pemuda-pemudi yang mengenyam pendidikan benar-benar ingin berjuang membebaskan
warga pribumi dari belenggu penjajah. Kira-kira pada usia 34 tahun saya baru
pulang dari perantauan (Batavia). Dan langsung saya menikah dengan seorang
perempuan, hingga akhirnya dikaruniai 9 anak, 3 orang putra dan 6 lainnya
putri. Pada saat usia 50 tahun saya diamanahi menjadi Kepada Desa. Namun selama
saya menjabat tidak terjadi banyak perubahan. Karena saya lebih banyak
menghabiskan waktu untuk penggalangan masa untuk melawan penjajah. Karena
pengalaman saya yang sering mengikuti perkumpulan atau organisasi nasional
membuat saya bisa kenal detail tentang Bung Karno.
Ternyata di tingkat pasat pun sudah mulai ada pergerakan nasional yang
mengarah pada pergerakan kemerdekaan RI. Dan kami ingat betul bahwa ayah saya
adalah orang yang memiliki ilmu kebal. Konon kabarnya ayah saya pernah
menangkap pesakitan atau berandalan yang sakti, sehingga ayah saya dianugerahi
gelar Ki Gerda Wigura/Gerda Wana dan dari pihak pemerintah menganugerahi juga
sebidang tanah khusus untuk mengubur anak cucu dan buyutnya apabila kelak
meninggal dunia. Namun tuhan berkehendaklain, saya hanya menjabat dari tahun 1919
sampai dengan 1933, kurang lebih 14 tahun. Saya tetap bersumpah bahwa saya
yakin bangsa jawalah yang mampu memimpin bangsanya kelak dan anak cucu kami
akan jaya. Amiin..
5.
Pemerintahan Kepala Desa Suradiwangsa (1933-1949)
Suradiwangsa adalah anak seorang bangsawan, yaitu dari seorang cucu
wedono yang pada zamannya juga adalah kerabat Adi Pati Honggowono
(Adipati/Bupati tegal) yang ke-2 dari kalisoka.
Ayah Suradiwangsa bernama Ki Gerda Wana dari Pagiyanten. ia adalah orang
yang mempunyai kesaktian. Dan sering dimintai tolong jaksa untuk mencari dan
menagkap tahanan yang lari. Ki Gerda Wana mampu membuktikan kemampuannya itu, ia
berhasil menangkap seorang tahanan tadi. Sebagai hadiahnya ia diberi tanah yang
wilayahnya berada dihutan balai kambang sebelah utara jalan yang sekarang
digunakan untuk anak cucu, cicit dan seterusnya. Hanya sayangnya hak status
tanah tersebut hanya hak guna istimewa.
Di era kades Suradiwangsa belum diterbitkan PP. 10 yang mengatur tentang
hak perkawinan masyarakat Indonesia pada umumnya. Sehingga pak lurah sendiri
memiliki 4 orang istri. Walaupun beristri 4 kehidupan Suradiwangsa dari segi
ekonomi tergolong sangat mampu.
Pada tahun 1933 Pemerintahan Belanda sudah mulai bergejolak. Dimana-mana
terjadi perang, terutama yang dialami oleh pemuda jawa (Jong Java) yang memang
mulai memusuhi Belanda. Hal ini karena bangsa-bangsa jawa dan masyarakat desa
rajegwesi khususnya banyak yang merasa tertindas dan dibuang entah dimana
rimbanya.
Pada saat itu Ki Suradiwangsa masih terpengaruh emerintahan Belanda. Ada
rumah tahanan khusus bagi orang-orang yang melanggar hokum di era Kepala Desa
Suradiwangsa. Banyak yang mengakui bahwa dari masing-masing istrinya telah
melahirkan putra-putri yang berguna bagi nusa dan bangsa, beberapa diantara
mereka ada yang menjadi guru STM di madiun, guru SMA dan bekerja di staf
kementrian sekitar tahun 1945.
Setelah merdeka, muncullah beberapa partai yang menjamur di Era Orde
lama. Ada juga tokoh yang seperti Bapak Proklamator (Ir. Soekarno), Pesiden RI
yang pertama yaitu : Tokoh dari Darul Islam Indonesia yang bernama Raden Mas
Sekartaji Marijakan Karto Suwiryo yang banyak melakukan suatu gerakan perongrong
(garong) dan yang lebih dikenal lagi Tentara Indonesia Islam. Pada saat itu
benteng-benteng pertahanan antara TNI Banteng Reges yang dikomandani oleh
beliau bapak Kol. Ahmad Yani dan digantikan oleh Letkol Yasir dan beliau bapak
Mayor Badrun.
Desa Rajegwesi bersama Desa Songgom, Kertaharja, Kedungsugih dan
Karanganyar adalah benteng Pertahanan Banteng Reges dari DI/TII. Pada saat
perjuangan Suradiwangsa belum sampai pada puncaknya, ia diculik oleh sekelompok
orang. Kemungkinan besar itu adalah sekelompok orang dari DI/TII.sampai saat
ini tidak diketahui dimana batu nisan dan rimbanya Pak lurah (Saradiwangsa).
6.
Pemerintahan Kepala Desa Dullah (1949-1951)
Dimasa pergantian dari Kepala Desa
Suradiwangsa ke Kepala Desa berikutnya yaitu Bapak Dullah tidak terjadi banyak perubahan
karena pada zaman itu masih ada pengaruh pemerintahan Belanda maupun Jepang
(NIPON) dan banyak pula mengatasnamakan Serikat Pedagang Islam dsb.
Indonesia sendiri yang usianya masih sangat
belia dalam keadaan ekonomi yang sangat memprihatinkan. Ditambah dengan
gerombolan-gerombolan dan partai-partai di dalam negeri sendiri yang sengaja merongrong
pemerintahan Indonesia Sendiri.
Bapak Dullah adalah seorang anak petani. Ia
berasal dari keluargayang sangat religius. Saat tumbuh dewasa ia mencoba
mendaftarkan diri untuk pencalonan Kepala Desa Rajegwesi, hingga akhirnya ia
terpilih. Saat itu Indonesia masih dalam kepemimpinan Jepang yang wilayahnya
belum sepenuhnya dapat ditarik dari kekuasaan Jepang.
Pada saat itu Kepala Desa Rajegwesi
ditugasi untuk mengelola hasil bumi dengan system Noji, istilah yang tidak
dapat didefinisikan berasal dari bahasa Jepang. Sempat setiap tahunnya Bapak
Dullah mengumpulkan beberapa bahan pangan dari petani pribumi dan setiap
setengah tahun sekali diangkut ke Negara Jepang. Kegiatan ini diistilahkan
sebagai Alarem atau Malarem.
Setelah sekian lama Bangsa Indonesia
mengetahui taktik yang dipergunakan oleh pemerintah jepang, sehingga tahun
ketiga posisi Kepala Desa Bapak Dullah terjepit, akhirnya lari tunggang
langgang karena pada saat itu rakyat dimana-mana bergerak dengan meneriakan
“Serbu Noji..!! Serbu Noji..!!Serbu Noji jojol Dullah.. jojol Dullah” sehingga
akhirnya Bapak Dullah meninggalkan Desa Rajegwesi hingga sekarang.
7.
Pemerintahan Kepala Desa Kaslani
(1952-1954)
Setelah mengalami lepas jabatan Kades
Dullah, Posisi Kepala Desa Rajegwesi digantikan oleh Bapak Kaslani. Bapak
Kaslani pada saat itu tengah menjabat sebagai seorang carik (Sekretaris Desa)
dari kepemimpinan Lurah Suradiwangsa hingga Lurah Dullah. Setelah Bapak Dullah
lengser, terjadillah kekosongan jabatan Kepala Desa. Sehingga tanpa melalui
pemilihan Bapak Kaslani diangkat menjadi Kepala Desa Rajegwesi. Dalam masa
pemerintahannya, beliau banyak turut andil dalam perjuangan PETA.
Bapak Kaslani tergolong orang yang pintar,
cerdas, dan pemberani. Hal ini karena ia berpendidikan cukup tinggi (SMA) di jakarta.
Namun dalam kepemimpinannya ia tetap menemui banyak rintangan dan kendala.
Bapak kaslani pernah menjabat ketua lurah / Kepala Desa (PRAJA). Karena
terpanggil untuk menindaklanjuti perjuangan pada tahun 1945, beliau pergi ke
Wonosobo bersama-sama dengan kelaskaran tentara pembela tanah air. Sehingga
jabatanya digantikan oleh Bapak Sibun.
Pada saat itu Tentara Tanah Air (PETA),
pergi ke Wonosbo. Sedangkan Desa Rajegwesi merupakan batas benteng pertahanan
antara “Benteng Rages”. Sehingga DI/TII mengetahui bahwa tentara meninggalkan
kantong-kantong benteng pertahanan, maka disitulah kesempatan emas bagi DI
untuk menduduki posisi Benteng Rages. Bapak kades Sibun pun ikut menjadi korban
penculikan oleh DI/TII dan sampai sekarang tidak diketahui nasibnya. Inilah
yang menyebabkan Bapak Sibun menjabat sebagai Kepala Desa kurang lebih 3 bulan,
sehingga posisi Kepala Desa pun tidak ada. Maka bapak Kaslani yang jauh dari
pengasingan yaitu di Wonosobo mendapat kabar dari Bleden (Jabatan camat pada
saat itu). Untuk menjadi kan Kaslani sebagai Kepala Desa Rajegwesi.
Dengan system di pilih untuk ke dua kalinya
Bapak Kaslani menjabat sebagai Kepala Desa. Beliau sering ikut serta di Desa
Rajegwesi dalam mengadakan perubahan. Pada saat itu ada perpindahan Desa dari
wilayah Sidomulyo yang akan dijadikan “BENDUNGAN”,(Bendungan Cacaban). Sehingga
Desa Sidomulyo dan Blandaran dipindahkan ke wilayah samping Desa Rajegwesi. Bapak Kaslani menjadi salah
satu panitia tentang pembagian tanah kepada warga masyarakat yang dipindahkan. Bapak
Kaslani seorang pemimpin yang keras sehingga pada tahun 1956 pernah di penjara
karena membela masyarakatnya selama 6 bulan.
Menurut kami Bapak Kaslani patut kita
teladani, karena jasanya ia dijuluki pahlawan di desa. Namun ketika beliau baru
saja keluar dari penjara, beliau telah diintai oleh kelompok DI/TII. Maka
terjadilah Konfrontasi dan penyerangan dari pihak DI/TII yang menyebabkan bapak
Kaslani tewas seketika. Beliau dimakamkan di Desa Pagerbarang tempat
kelahirannya.
8.
Pemerintahan Kepala Desa Sibun (1954-1954)
Bapak Sibun menjabat sebagai Kepala Desa Rajegwesi menggantikan bapak
Kaslani yang pada saat itu harus pindah ke Wonosobo bersama lascar PETA. Namun
kepemimpinannya hanya berlangsung selama 3 bulan, Karena beliau menjadi korban
penculikan oleh DI/TII yang sampai sekarang tidak dapat diketahui rimbanya.
9.
Pemerintahan Kepala Desa Kaslani
(1954-1956)
Karena tidak ada posisi jabatan di Kepala Desa Rajegwesi akibat
diculiknya Bapak kades Sibun. Akhirnya bapak Kaslani di tunjuk kembali menjadi Kepala
Desa Rajegwesi. Beliau wafat karena menjadi korban penyerangan oleh DI/TII.
10. Pemerintahan Kepala Desa Soemarjo Wijaya (1956-1957)
Pada tahun 2007, saat itu saya didatangi oleh Kepala Desa Rajegwesi
yaitu Bapak Haryoto, Beliau menanyakan pengalaman dan perjalanan saat saya
menjabat sebagai Kepala Desa. Ketika itu saya bertanya untuk apa pak lurah
menanyakan tentang itu. Ternyata beliau ingin tahu tentang perjalanan dan
asal-usul Desa Rajegwesi, dan saya menjawab bahwa saya hanya mampu menceritakan
tentang diri saya saja. Lalu Pak kades mengangguk seraya berkata “ya, tidak
apa-apa” dan disinilah saya mulai mengingat-ingat dan mulai menceritakan
tentang kepemimpinan saya selama menjadi Kades.
Saya dilahirkan pada tahun 1927 M. saya diberi nama Soemarjo Wijaya,
saya dilahirkan dikeluarga yang sederhana, akan tetapi saya sempat disekolahkan
oleh orang tua saya sampai lulus SR 3 tahun dan konon kabarnya Mbah saya pun
seorang Kepala Desa dan saya tumbuh seperti hal nya anak desa yang lain, orang
tua saya juga termasuk seorang pejuang kemerdekaan.
Ketika saya berusia 17 tahun saya diperbantukan sebagai seorang carik,
dan pada usia 22 tahun saya resmi menjabat sebagai carik Desa Rajegwesi, dan
pada pertengahan tahun 1956 saat itu mengalami dua kali masa jabatan yaitu
kades Sibun dan Bapak Kastami.
Memang semuanya kembali pada suratan, bahwa kalau memang ada jatahnya,
Allah akan memberikan suatu amanah pada tahun 1956 ada suatu kekosongan Kepala
Desa karena Bapak Kaslani selaku Kades telah meninggal di tembak oleh
gerombolan DI/TII pada saat itu saya ikut mencalonkan diri sebagai calon Kepala
Desa. Saya ingat betul bersama saya ada 5 orang yaitu:
1. Ki Sudgar Bau
2. Dakim
3. Tabas
4. Radam Lebe
5. Soemarjo Wijaya
Alhamdulillah saya terpilih dan dilantik tahun 1956, dari sinilah saya
mulai berkarya dengan posisi sebagai Kepala Desa dan pada saat itu memang desa
ini sama sekali belum mempunyai Balai Desa (Kantor Desa). Dan Alhamdulillah
pada tahun ke-3 kami dapat membangun Kantor Balai Desa dengan Gotong Royong,
dan pada tahun 1957 kami bersama masyarakat dapat membeli tanah kepada Kepala
Desa Sidomulyo yang sekarang dipergunakan untuk lapangan sepak bola.
Desa Rajegwesi termasuk ke dalam batas-batas wilayah pertahanan
Bataliyon Banteng Redes dengan DI/TII dan AIDH telah memberi banyak jalan
sehingga kami pun tetap berjuang menghadang pengacau/gerombolan selama
menjabat, ditambah lagi pada saat itu di tahun 1962 sudah mulai desas-desus
tentang PKI sehingga semua itu semakin menambah keruh suasana pada waktu itu.
Tahun 1965 terjadi gelombang Revolusi yaitu meletusnya G30S PKI, dan
pada saat itu juga banyak warga kami yang menjadi korban tentang penghianatan
PKI. Meskipun keadaan demikian, kami sempat menindak lanjuti program-program
dari Kepala Desa sebelumnya. Contohnya membangun jembatan yang sebelumnya masih
menggunakan bambu telah diganti dengan BUK (Beton Batu Merah), di tahun 70-an
kami banyak mengalami perubahan yang berarti yaitu pada era pemerintahan Bapak
Soeharto Sebagai presidennya, namun ditahun 1975 pemerintah daerah telah
menerbitkan PERDA yang mengatur tentang jabatan KADES sehingga pada saat itu
kami mengajukan surat permohonan untuk perlove dan pada tahun itu saya juga
berhenti menjabat sebagai Kepala Desa.
11. Pemerintahan Kepala Desa Tarmoedi S. (1975-1986)
Pada tahun 1952 saya dipanggil bapak “Mud,
kesinilah nak, Bapak mau bicara” lalu saya mendekat dan duduk di depan
Bapak, dan Bapak mulai berbicara “Mud,
kamu adalah anak saya yang pertama dan suatu kebetulan kamu dilahirkan sebagai
seorang laki-laki yang sudah sepantasnya bapak punya harapan, kelak kamu akan
menjadi imam, imam dalam arti kata menjadi seorang yang didepan maka dari itu
mulai sekarang kamu harus mengutamakan ilmu agama” lalu saya mengangguk
seraya menjawab “Insyaallah pak” dan
saat itu bapak menyuruh saya pergi bermain karena pada saat itu ada seorang
tamu, saudara Bapak dari Randusari. Demikian ucapan bapak Bapak Saya yang
sangat penting dan patut untuk kita tauladani, mungkin dari sinilah saya mulai
belajar ilmu agama yang diawali dari Madrasah.
Saya ingat betul sekolah MI nya sangat jauh di Desa Randusari, sehingga
kadang-kadang agak malas untuk berangkat, akan tetapi berkat bimbingan Bapak
saya yang sangat taat kepada ilmu agama, sehingga Alhamdulillah saya sanggup
hingga lulus MI. karena saya dilahirkan dikeluarga yang pas-pasan maka saya
tidak melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi. Bapak tergolong orang yang
taqwa karena beliau termasuk ulama pada masa itu, tugas bapak seorang imam di
Masjid yang sekarang bernama Masjid Baiturrohim Desa Rajegwesi. Setelah
menginjak dewasa kira-kira umur 16 tahun saya ikut bekerja di Jawa Barat,
tepatnya membuat Bendungan yaitu Waduk Jati Luhur, kami bekerja sebagai kuli
bangunan dan keadaannya sangat menjepit, Insyaallah kami tidak ketinggalan Iman
dan Taqwa Kepada Allah SWT, di Jati Luhur Saya bekerja selama 9 tahun ditahun
1960-1969 dan pada tahun 1970 saya pulang kampong. Di kampong halaman saya
sempat melatih seni yang bernafaskan islam yaitu seni rebana (Kuntulan). Namun
dalam hal ini saya tidak bertahan lama. Saya kembali merantau ke Jakarta untuk
menagis rejeki disana.
Pada tahun 1972-1973 saya diminta untuk pulang kampung dan mengikuti
Pilkades serta unggul dalam pemilihannya. Pada tahun 1975 kami dilantik menjadi
kades di Desa Rajegwesi di dalam melaksanakan tugas sebagai kades saya dibantu
oleh banyak staf diantaranya seorang Carik bernama Tarso dan seorang Bau yaitu
Wahidi, seorang polisi I Bapak Warso, Polisi II Sutarno dan Kebayan Bapak
Durat, kemudian Modin yaitu Bapak Bapak Mas’ud.
Di dalam melaksanakan tugas, saya tidak terlalu banyak berandai-andai,
hanya kami mempunyai cita-cita semoga warga kami di Desa Rajegwesi sedikit demi
sedikit memperlajari tentang ilmu agama dan Alhamdulillah rupanya Allah banyak
memberikan hidayah sehingga warga kami berangsur-angsur sadar dan menjalankan
kewajibannya, karena segala pekerjaan diatur oleh waktu dan didasari oleh
aturan sehingga pada akhir tahun 1989 masa jabatan saya telah usai dan saya
kembali dipercaya oleh masyarakat sebagai seksi keagamaan. Semoga dengan amal
dan perbuatan kami Allah senantiasa mengampuni segala dosa-dosa kami, Amiin.
12. Pemerintahan Kepala Desa Tohir (1986-1996)
Pada suatu hari kira-kira jam 21.30 WIB,
saya dipanggil bapak saya yang kebetulan sedang memberi makan kerbau, karena
orang tua saya juga mempunyai peternakan kerbau, karena pada say saya kecil
kerbau banyak digunakan untuk membajak sawah oleh para petani, bapak saya
bernama Sapan, dan ketika itu beliau berkata “Hir, kemarilaj nak” lalu saya mendekat dan duduk didepan bapak
saya, kemudian bapak saya bertanya “kau
sedang apa?” bapak melanjutkan perkataannya “begini hir, apakah kamu sudah mengetahui hari apa kamu lahir?”
saya pun menjawab “belum pak” dan
bapak pun menjawab “kamu lahir pada hari
rabu, 16 Agustus 1945 dan kata mbah kamu yang berada di Balapulang kelak kamu
akan menjadi orang yang selalu memberi kepada orang banyak dan karena kamu
lahir pada hari rabu, maka jika kamu mau menanam sesuati pasti akan menghasikan
yang terbaik” dan saya menjawab “masa
pak?”, “iya nak” bapak benjawab
dan itu merupakan kata-kata bapak saya yang menjadi pedoman yang selalu saya
ingat sepanjang hidup.
Saya terlahr dari keluarga yang sederhana,
keluarga yang mempunyai banyak anak, hanya herannya kata-kata bapak saya sama
seperti yang saya fikirkan, karena saya bercita-cita ingin berguna bagi orang
banyak dan ingin selalu membantu orang yang patut untuk dibantu, karena
adik-adik saya banyak, saya pun hanya mengenyam pendidikan formal yakni di
Sekolah Rakyar (SR), di umur 16 tahun saya menjadi buruh tetap di Kepala Desa
pada waktu itu yaitu Kades Soemarjo Wijaya, disinilah saya banyak meninba ilmu,
baik ilmu pertanian maupun ilmu social maupun ilmu politik yang sangat
berhubungan erat dengan kehidupan bermasyarakat. Kira-kira 4 tahun saya
mengabdi kepada bapak Soemarjo Wijaya dan pada umur 21 tahun saya mengabdi di
desa sebagai hansip (Pertahanan Sipil). Bersamaan dengan itu saya juga mengabdi
kepada Perum Perhutani sebagai mandor jaga (POLHUT), tetapi dengan sifat saya
yang tidak tega, maka saya keluar dari mandor jaga karena setiap hari saya
harus berhadapan dengan masyarakat Desa Rajegwesi baik yang mencari kayu atau
daun karena pada waktu itu orang yang mencari daun atau kayu jika tertangkap
bisa di hukum (Masa Orde Baru). Pada tahun 1983 saya masuk staf desa, menjabat
sebagai perangkat desa namun tidak lama kemudian saya mengikuti Pilkades dan
pada saat itu hanya 3 calon yang lulus ujian yakni diantaranya:
1. Tasori dari tokoh pemuda
2. Tohir dari tokoh masyarakat
3. Wahadi dari perangkat desa (Bau)
Alhamdulillah saya memperoleh suara terbanyak, sehingga saya terpilih
menjadi kades Rajegwesi pada tahun 1989, dan pada saat itu kami pun menyadari
selama pemerintahan orde baru ada suatu sistem yaitu mono loyalitas sehingga
tak heran mana kala saat itu kami mendapatkan suatu kursus yang berindikasi
pada mayoritan tunggan untuk Golkar, dalam bidang politik, dan pada bidang
pemuda dan olahraga Alhamdulillah saya senang dibidang olahraga sehingga saya
menjalaninya khususnya sepak bola.
Selama saya menjabat menjadi Kepala Desa, saya banyak mendapat suatu
Piagam dan sertifikat, diantaranya piagam P.4 pada tahun 1990 dan pada tahun
1994 ikut diklat LKMD, tahun 1996 pelantikan peningkatan kemampuan kades dan
lain sebagainya, yang penting saya ingin mengabdikan diri pada masyarakat.
Alhamdulillah cita-cita saya tercapai semua, maka dengan ini saya hanya
berpesan pada anak muda “jangan sampai
kacang lupa pada kulitnya”, karena jabatan saya diatur oleh waktu
sehingga saya mengakhiri masa jabatan pada tahun 1996 (masa jabatan 10 tahun)
karena PERDA yang mengaturnya dan siapa pun yang menggantikan posisi saya
semoga akan lebih maju, Amiin.
13. Pemerintahan Kepala Desa Warjo (1997-2006)
Pada masa transisi dari pemerintahan Bapak
Tohir ke Bapak Warjo, diawali melalui kompetisi dibidang politik praktis desa.
Pada tahun 1997 terdapat 5 Calon Kepala Desa dan Alhamdulillah saya terpilih
menjadi Kepala Desa. Padahal kalau dipikir secara nalar saya hanya bermodalkan
apa yang saya miliki baik secara moril maupun materi. saya pun menyadari hanya
anak seorang modin (lebey) pada saat itu.
Pada awal pemerintahan, saya mendapat
banyak kesulitan. Maklum jabatan Kepala Desa bukan jabatan professional, akan
tetapi jabatan politik yang tidak ada tingkat basic dalam kependidikan formal.
Sehingga pada awal saya bekerja menemui banyak kendala baik layanan masyarakat
Rajegwesi pada khususnya dan untuk wilayah Kecamatan Pagerbarang pada umumnya.
Merubah suatu kebiasaan tentang kehidupan seseorang apalagi tingkat kehidupan
masyarakat pada umumnya tidak semudah apa yang saya bayangkan, dan saya
menyadari latar belakang masyarakat Desa Rajegwesi pada saat itu pendidikannya
masih sangat rendah. Apalagi pemahaman tentang kesadaran hukum. Suatu kebetulan
wilayah hokum masyarakat desa berbatasan dengan wilayah hukum Perhutani KRPH
WANAYASA. Sehingga dengan hukum alam
yang di pahami oleh warga masyarakat kami anggapannya bahwa mencari kayu di
hutan itu hukumnya sah-sah saja. Padahal secara hukum bahwa siapapun yang
membawa kayu ataupun sejenisnya di dapat dari wilayah hutan, tentu saja itu
melanggar hukum yang berlaku. Pada waktu itu banyak warga yang terlibat dalam
kasus yang mengarah pada upaya hukum. Pada awal tahun 1998 ada suatu peristiwa
yang maha dahsyat dampak dari revormasi yang kebablasan. Sehingga mengusik pada
kontak perasaan pada masyarakat desa yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Contohnya : menjalarnya suatu revormasi sehingga warga kami pun banyak yang
melakukan penjarahan hutan sampai wilayah hokum KRPH WANAYASA, dengan dalih
bahwa kami mewarisi harta bendanya bapak Soeharto selaku Presiden RI yang saat
itu lengser dari jabatannya. Disisi lain sudah jelas bahwa semua orang yang
melakukan tindakan penjarahan ataupun sejenisnya itu patut diberi sangsi hukum.
Pada saat itu juga banyak warga kami yang masuk trails besi. Namun dibalik itu
semua, atas dasar inisiatif sesame instasi, kami bersama-sama mampu mengakhiri
penjarahan. Pada tahun 2000 tidak begitu banyak warga masyarakat kami yang terjebak
dalam hokum.dibawah pemerintahan kami tidak banyak mengalami perubahan baik
pembangunan infrastruktur ataupun non infrastruktur, dan ditahun 2005 ada
program pemerintah melalui PPK (Proyek Pengembangan Kecamatan) yang sangat
menunjang pembangunan infrastruktur di Desa Rajegwesi.PPK hanya berjalan 2
tahun anggaran. Pada tahun 2006 tepatnya
tanggal 20 November berakhirlah masa jabatan kepala desa yang telah diatur pada
Perda Kabupaten Tegal. Semoga dengan sekilas cerita ini dapat menjadi acuan
bagi generasi yang akan dating. Semoga Allah SWT memberi rahmat dan hidayahnya
amin ya robbal alamin.
14. Pemerintahan Kepala Desa Haryoto (2007-2013)
Pada
tahun 1964, saya ingat betul saat saat itu tengah ditimang-timang oleh Sutarno
bapak saya sambil berkata “nak Har, kamu
kelak menjadi pengayom orang banyak” waktu kian berlalu dan saya tidak
memungkiri bahwa saya dilahirkan ditengah-tengah keluarga petani. Walaupun
bapak saya seorang Polisi, namun masa kecil sudah biasa saya habiskan untyk
menggembala kerbau, kambing dan itik. Tahun 1972 Saya lulus SD, pada saat itu
belum ada kelas 6 di desa kami, Sehingga saya melanjutkan di Desa Kecamatan
(Pagerbarang)dan melanjutkan pendidikan ditingkat selanjutnya.
Saya
pernah merantau ke Jakarta. Disana banyak pengalaaman yang saya dapatkan,
terutama dari berbagai profesi yang saya lakukan diantaranya menarik becak,
bajaj dan supir taksi. mungkin Allah SWT telah menuliskan suratan pada diri
saya sehingga pada saat itu saya mendapat panggilan dari Semarang untung
mengikuti ujuan CPNS, Alhamdulillah saya lulus dan menjadi PNS. Saya sadar
betul PNS hanyalah golongan rendah, namun saya tetap bersyukur dan bangga. Saya
yakin bahwa firman Allah SWT tidak akan membohongi hambanya. Semakin banyak
kita bersyukur, Allah akan memberi banyak rohmat dan hidayahnya lebih dari apa
yang diucapkan. Dengan pengabdian yang tulus saya selalu berdoa kelak dalam
perjalanan saya selanjutnya Allah akan selalu memberikan limpahan rohmat. Dan
dengan berbekal keyakinan ucapan bapak saya pada saat kecil, setelah saya
mengabdikan diri kurang lebih 26 tahun, saya mencoba memberanikan untuk
mencalonkan diri sebagai Kepala Desa. Pada saat itu saya masih bertempat
tinggal di Desa Blubuk Kecamatan Slawi.
Alhamdulillah
berkat dukungan dari semua pihak, saya terpilih dalam pemilihan Kepala Desa
Rajegwesi pada hari senin, 20 Februari 2007, hingga akhirnya saya dilantik
menjadi Kepala Desa Rajegwesi. Dengan niat yang ikhlas disertai ucapan
bismillah saya mulai menempati kantor Kepala Desa. Memimpin suatu Desa tidaklah
mudah, dengan bekalilmu dan SDM yang minim, sebisa mungkin saya mencoba untuk
melangkah dibantu oleh Staf-staf saya yang terdiri dari KASI, KAUR dan SEKDES.
Di
awal pemerintahan, kami harus menyelesaikan banyak pekerjaan rumah terutama
dibidang pembangunan fisik dan non fisik. Saya lira manajemen suatu Desa
sangatlah mudah, namun ternyat tidak semudah yang saya banyangkan. Merujuk pada
semboyan “apalagi menggerakan manusia
yang terdiri dari tulang, daging, darah dan kulit, sedangkan yang mampu kita
mainkan hanyalah tulang dan kulit”. Namun dalam hal ini terjadi kesalahan
yang fatal dan kita tidak bisa berpedoman pada hal ini saja, hanya berbekal “aku orang yang sangat bodoh”.
Alhamdulillah sedikit demi sedikit saya mulai mapu untuk mengayunkan kaki demi
berjalannya suatu pemerintahan desa. Saya selalu berpedoman dari peribahasa “kami kepala desa harus siap menjadi kepala
desa lurah harus bisa ngulur amarah dan kata-kata pekel harus bisa membekali”.
Pada
tahun 2007 saya mulai membangun infrastruktur yaitu penyelesaian jembatan Desa
dukuh petung wilayang Rajegwesi Timur. Pada tahun 2008 kami bersama warga
mengerjakan jalur pantundes (Pintu Utama Desa) hingga pada tahun berikutnya
melanjutkan pengaspalan Jalindes (Jalan Lingkar Desa) yang sumber dananya
berasal dari ADD dan PNPM. Pada tahun 2010 dan 2011 sempat terlaksana
pembangunan infrastruktur dibidang akslarasi yaitu pembuatan parit dan
drainase. Sebenarnya yang saya dambakan adalah merealisasikan pembangunan non
fisik yaitu pembentukan karakterisktik dan sikap yang baik bagi warga
masyarakat Desa Rajegwesi.
Keinginan
saya adalah membuat suatu rangkaian cerita mengenai Asal-usul Desa Rajegwesi,
yang setidaknya menjadi bahan bacaan warga sekaligus mengabadikan sejarah dalam
masyarakat. Dalam penyusunan buku ini saya mencari tahu dari beberapa
narasumber diantaranya dari para kades terdahulu. Selain itu karena saya
seorang dalang saya sedikit tau tentang sejarah baik nasional maupun regional.
Dari sinilah saya mulai menyusun cerita asal-usul Desa Rajegwesi, termasuk
daftar Kepala Desa dari tahun ke tahun sampai pada pemerintahan saya tahun 2007
yang akan berakhir pada tahun 2013. ini semua karena naluri saya dalam bidang
seni yang sangat kental, sehingga keinginan saya menjaga kelestarian
nilai-nilai seni, budaya, adat dan tradisi nenek moyang terdahulu. Walaupun
saya seorang Kepala Desa tidak jarang saya tahu kesenian rakyat antara lain:
- Seni pergelaran wayang kulit
- Kesenian pemeda
- Kesenian kuda lumping
Seiring
perjalanan waktu, telah terjadi pergeseran nilai sosial baik budaya maupun
agama, sehingga kesenian tradisional hampir saja punah. Maka dengan ini saya
yang insyaallah masih mengerti sedikit nilai-nilai luhur budaya berusaha untuk
mempertahankannya agar tidak luntur begitu saja. Pemerintahan 6 tahun sangatlah
cepat untuk membenahi semua itu. Mudah-mudahan kelak yang menjabat sebagai
Kepala Desa Rajegwesi dapat mempertahankan dan mengamalkan nilai-nilai baik dan
luhur. Sebagai manusia yang tak lepas dari kesalahan sehingga segala kesalahan
kita pendam dalam-dalam dan saya bersemboyan dimasa depan “Indonesia tetap jaya, Rajegwesi pasti berisi”.
Alhamdulillah
keinginan saya membuat Buku Asal-usul Desa Rajegwesi telah terwujud. Semoga
bermanfaat bagi generasi penerus Desa Rajegwesi khususnya dan Kabupaten Tegal
pada umumnya. Dan agar generasi penerus kita lebih tahu dan mengerti betapa
pentingnya suatu sejarah. Karena tanpa sejarah hidup bernegara takkan terarah
dan semoga setelah terwujudnya sebuah buku “Asal-usul Desa Rajegwesi” Allah SWT
senantiasa memberkatinya. Aamiin.
#PENYUSUN : Bpk. HARYOTO (KEPALA DESA RAJEGWESI )
#EDITOR : TIM KKN POSDAYA UNIV. PANCASAKTI TEGAL 2012
#PENYUSUN : Bpk. HARYOTO (KEPALA DESA RAJEGWESI )
#EDITOR : TIM KKN POSDAYA UNIV. PANCASAKTI TEGAL 2012
6 comments:
HEBAT NEMEN YAH,,ESIH KEMUTAN SEJARAH
hebat nemen yakin
mesti di dokumentasikena keh....ben go putu buyut e ngko....
apa ada hubungnya dengan "Pagerwesi "yg disebut dalam naskah bujangga Manik???, kalau benar Rajegwesi perubahan dari Pagerwesi, itu artinya Rajegwesi desa yg sangat tua.
saya sangat meng-apresiasi penulisan sejarah desa rajegwesi.
harapan saya, terus bisa mendapat input (melengkapi) atau koreksi (untuk meluruskan) agar nilai sejarah menjadi lebih komprehensif sebagai warisan anak cucu.
saya sebagai masyarakat pegerbarang malah masih mencari dimana sejarah desa pagerbarang? siapa yang menulis? seperti apa nilai sejarahnya?
Saya cucu dari kades suradiwangsa
Post a Comment